Tak ada lagi pelangi
pada senja yang selalu kunantikan kehadirannya. Seolah-olah langit berubah
menjadi gelap tanpa warna diiringi dengan hujan yang turun sangat lebat. Ya...
Sama seperti hatiku yang sedang merelakan kepergianmu. Berat… Saat aku ingat,
kala itu aku yang tidak ingin melepaskanmu namun kamu seperti tidak
membutuhkanku lagi. Sakit… Sakit yang kurasakan saat itu, betapa tidak sanggupnya
aku harus dengan cara apa aku merelakanmu pergi pada saat itu?
Namun itu dulu, ketika
aku terlalu jatuh pada sesuatu hal yang aku yakini sebagai kebahagiaanku. Apa
kamu ingat? Waktu dimana kamu meminta untuk menyudahi hubungan ini, dengan
segala ucapanmu yang cukup menyakiti perasaanku? Kamu buat seolah-olah ini
semua salahku. Apa harus dengan cara seperti ini kamu ingin meninggalkanku?
Cobalah untuk jujur kepadaku dan juga kepada dirimu sendiri. Walaupun itu
terasa cukup menyakitkan bagiku, namun itu sangat berarti. Setidaknya, aku
sudah berusaha mempertahankan kamu dan hubungan ini dengan segala kemampuanku. Kamu
bosan kan? Kamu jenuh? Aku paham, dan itu wajar. Karena manusia itu butuh
perkembangan. Kalau perlahan rasa itu mulai berkurang untukku, karena aku yakin
kamu telah menemukan yang lebih baik dariku. Iya… Dia, yang saat ini kau pilih
menjadi kekasihmu 😊
Luka tetaplah luka, luka
itu mungkin akan sembuh, namun bekas akan tetap selalu ada. Biarlah waktu dan
keikhlasan hatiku yang menjadi obat
paling mujarab, karena dengan itu, perlahan aku akan melupakan dan memaafkannya.
Aku tidak marah, mungkin aku hanya sedikit kecewa. Segala perjuangan yang telah
kita perjuangkan selama ini sia-sia, dan berakhir dengan sebuah perpisahan.
Kamu tahu kan aku benci perpisahan? Walau aku tahu disetiap pertemuan akan
selalu ada perpisahan.
Lalu
izinkan aku bertanya sejenak, mengapa bukan kamu yang tetap tinggal? Mengapa?
Adakah
jawaban yang mampu untuk mengikhlaskan?
Kamu bilang kamu tidak
tega melihat aku menangis, tapi kenapa kamu malah menjadi alasan aku meneteskan
air mata? Dimana letak perasaanmu disaat aku menangis dihadapanmu memohon
sebuah kesempatan yang bahkan kamu pun enggan menjawabnya. Lalu apa yang bisa
kamu lakukan untuk menenangkanku? Tidak ada, bahkan kamu hanya diam terpaku
melihat kearah depan dengan tatapan kosong. Entah, pada saat itu dimana letak
perasaanmu. Kau berubah menjadi seseorang yang tidak kukenali. Namun, perlahan
aku mulai sadar, kamu hanyalah jodoh (ku) orang yang sangat aku
perjuangkan, yang sangat aku semogakan.
Sampai aku lupa, bahwa aku seharusnya berhenti. Iya, berhenti
memperjuangkanmu. Harus! Karena sudah tidak ada lagi yang dapat kuperjuangkan
dari hubungan ini. Memang benar aku sayang, memang benar aku berat menerima
semua ini, tapi dari sikapmulah aku menemukan sebuah jawaban, bahwa kau sudah
tidak menginginkan aku untuk tetap tinggal. Lalu apalah arti perasaanku yang
besar untukmu kalau hanya aku yang berusaha membuatnya utuh? Karena rasa
nyamanmu untuknya sudah melebihi rasa sayang yang kupunya untukmu. Aku sadar
itu 😊
Mungkin Tuhan
mempertemukan kita hanya untuk sekadar saling melengkapi chapter dari cerita
hidup kita, bukan untuk saling bersama dan berdampingan. Semoga dengan dia,
yang lebih baik hidupnya, yang lebih cantik paras dan kelakuannya dimatamu juga
dimata orangtuamu, hidupmu bisa bahagia. Hidupmu bisa bahagia dengan dia yang
lebih mampu membuatmu nyaman saat bersama dia. Yang tidak memalukan saat kau
kenalkan dia pada teman-temanmu. Karena dengan seiring berjalannya waktu,
kesendirian ini membuat aku lebih kuat menjalani setiap masalah yang ada. Move
on tidak selalu harus memiliki pasangan bukan? Bagiku, move on itu ketika aku
lihat orang yang sangat aku sayang dulu kini bahagia dengan perempuan
pilihannya, namun pada saat itu tiba aku tidak merasakan cemburu, sakit, atau
marah karena orang yang aku sayang lebih dulu bahagia dengan pilihannya. Karena
itu pilhanmu, itu hakmu untuk mencari teman hidup yang lebih baik.
Terima
kasih, kau telah mengajarkanku satu hal lagi. Yaitu, keikhlasan…
Keikhlasan pada diri
sendiri untuk melepaskan sesuatu yang memang ditakdirkan bukan untuk kita.
Kamu, akan selalu menjadi pelajaran terbaik dalam hidup. Mungkin, kamu akan
menjadi bagian dari patah hati terbaikku. Dengan segala kenangan, perjuangan,
dan airmata. Mungkin, hubungan ini terlalu menjadi ketidakmungkinan kita untuk
bersatu, maafkanlah segala ketidaksempurnaanku saat menjadi pengisi hatimu dulu.
Maaf jika selama aku bersamamu, aku hanya menjadi beban dan sumber masalah
dalam hidupmu. Maafkan segala kesalahan dan kekuranganku yang tidak bisa menjaga
dengan baik hubungan ini, sehingga kau lebih memilih untuk pergi. Aku rasa aku
tidak perlu panjang-panjang menulis atau mengungkapkan bagaimana rasa sayangku
untukmu. Cukup rasakan ketulusan ini dan berbahagialah, mantan…
Dan saat ini, aku hanya
ingin mengatakan; “Aku sadar, aku hanya tempat persinggahan. Bukan rumah tempat
tujuanmu untuk pulang. Jika memang benar begitu, pergilah… Cari tempat
ternyamanmu dan berbahagialah dengan pasanganmu yang baru, karena sejatinya cinta tidak
harus memiliki.
Tidak ada yang kebetulan, semua hal terjadi karena sebuah alasan. Jika memang
berjodoh, kelak pasti akan dipersatukan kembali dengan cara yang sangat
menakjubkan. Namun jika tidak, cukup dijadikan sebuah pelajaran dan terima
kasih telah memberikanku kesempatan untuk merasakan indahnya kasih sayang.”
Mungkin butuh waktu
yang cukup lama untuk aku menulis cerita tentangmu (lagi) sampai aku
merasakan baik-baik saja menulis semua ini.
Selamat malam, mantan...